Bayang-Bayang di Langit Jiba
"Di Bawah Langit Retak"
Desa Jiba. Sebuah desa terpencil di ujung barat yang terabaikan peta. Listrik kadang menyala, kadang padam. Jalan-jalan penuh lubang, dan sinyal hanya datang saat hujan turun, seakan langit menyampaikan berita dari dunia luar.
Di desa itulah Redi lahir. Anak semata wayang dari pasangan Pak
Karto dan Bu Darmi. Redi tumbuh layaknya padi yang ditiup angin dari segala
arah—tak pernah benar-benar tegak, tak pernah bebas menari.
Redi adalah anak yang pendiam, terlalu patuh, terlalu takut. Ia tak
pernah membantah. Sekali pun tidak. Jika ibunya berkata, "Jangan main ke
luar rumah, banyak anak nakal di luar sana," maka Redi pun duduk di
pojokan rumah, memandangi jendela yang berembun. Ia tidak tahu bagaimana
rasanya bermain kelereng di tanah lapang, atau bertukar cerita di bawah pohon
jambu bersama teman sebaya.
Hari-harinya diisi dengan menyapu, membaca kitab, dan membantu
memasak. Orang-orang menyebutnya "anak perempuan dalam tubuh
laki-laki". Tapi Redi tak pernah membantah. Ia hanya diam. Diam seperti
langit kelabu menjelang badai.
Air mata menjadi sahabatnya sejak kecil. Bukan karena manja, melainkan karena jiwanya mudah retak. Ia menangis ketika melihat ayamnya mati. Ia menangis saat tak sengaja menjatuhkan gelas. Ia bahkan menangis diam-diam setiap kali ayahnya bicara dengan suara keras.
"Anak laki-laki tak boleh cengeng!" bentak ayahnya suatu
hari.
Ia pernah mencoba bunuh diri. Pertama dengan menenggak racun tikus,
yang untungnya hanya membuatnya muntah-muntah. Kedua, dengan tali tambang tua
di gudang. Tapi langit seperti belum ingin memeluknya. Tali itu putus, dan Redi
jatuh pingsan, kembali ke dunia yang tak ingin ia tinggali.
"Terkadang Tuhan membiarkan kita jatuh, agar kita tahu bahwa
kita bisa bangkit lebih kuat dari sebelumnya."
Suatu hari, bencana datang dalam rupa fitnah. Seorang mahasiswi
menuduh Redi telah melakukan pelecehan seksual. Dunia seakan terbalik. Nama
baiknya hancur. Ia dibawa ke ranah hukum. Semua mata menuduh, semua telinga menolak
mendengar pembelaannya.
Namun Redi tidak menyerah. Dengan mata sembab dan suara yang
bergetar, ia berkata jujur. Kebenaran seperti matahari yang tertutup awan.
Lambat, tapi pasti, akan muncul juga.
Wanita itu akhirnya mengaku. Ia membuat cerita untuk menutupi
kesalahan pribadinya. Nama Redi bersih kembali. Tapi luka itu tetap membekas.
"Kebenaran kadang tertinggal di belakang, tapi ia tak pernah
tersesat."
Akibat proses hukum dan trauma, Redi tertinggal dalam kuliahnya. Semester enam berlalu penuh tekanan. Ia hampir menyerah. Tapi para sepupu dan pamannya datang, seperti embun di pagi hari. Mereka membantunya bertahan.
"Bangkit, Redi. Ilmu itu bekal hidup, bukan hanya untukmu,
tapi untuk orang-orang yang kelak akan kau bantu."
Dengan tekad dan keikhlasan, ia menyelesaikan S1-nya di tahun 2025. Pada hari dimana dia menyelesaikan ujian akhir, Redi berdiri dengan mata berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka bisa sampai sejauh ini.
"Jika hidup adalah ujian, maka sabar adalah kunci jawaban
terkuat."
Beberapa waktu setelah ujian akhir kuliah, angin membawa kabar baik. Hasil seleksi PPPK keluar. Redi dinyatakan lulus.
Ia menangis lagi. Tapi kali ini, bukan karena luka. Melainkan
karena syukur. Ia memeluk ibunya. Ayahnya menepuk bahunya pelan.
"Maaf, Le... Ayah dulu terlalu keras."
Redi hanya mengangguk. Tak ada dendam. Hanya air mata yang
berbicara.
Ia kembali ke Desa Jiba. Tapi kali ini bukan sebagai anak rumahan
yang terkekang, melainkan sebagai staff di sekolah yang membawa cahaya.
"Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan
menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka." (QS. At-Talaq: 2-3)
Redi bukan anak luar biasa. Ia hanya manusia yang jatuh dan terus belajar untuk berdiri. Di dunia yang kadang kelabu, ia memilih menjadi cahaya kecil yang tak padam.
"Dalam gelap, bahkan setitik cahaya adalah harapan."




Bagus juga ceritanya, mari kita buat bukunya,untuk memotivasi orang lain
ReplyDelete